Home / Artikel / Aqidah / Menulusuri Hakikat Kufur

Menulusuri Hakikat Kufur

Kufur menurut bahasa artinya menutupi, oleh karena itu Allah menamai petani dengan kuffar, karena mereka menutupi benih dengan tanah, dan orang kafir disebut kafir karena ia menutupi kebenaran.

Adapun kufur secara istilah terbagi menjadi dua yaitu kufur akbar (besar) dan kufur ashgar (kecil). Kufur ashgar adalah kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari islam selama tidak istihlal (meyakini bahwa Allah menghalalkannya), seperti zina, minum arak dan semua maksiat yang dinyatakan kufur oleh syari’at namun tidak mengeluarkan pelakunya dari islam. diantara contohnya juga adalah sabda Nabi yang artinya, “Mencaci muslim adalah kefasiqan dan memeranginya adalah kufur.” (HR Bukhari dan Muslim). namun para shahabat tidak mengkafirkan kaum khawarij, padahal mereka memerangi kaum muslimin. Kufur ini menghilangkan kesempurnaan iman yang wajib.

Sedangkan Kufur akbar adalah kufur yang mengeluarkan pelakunya dari islam dan ia ada enam macam sebagaimana yang dijelaskan oleh ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitab madarijussalikin 1/337-338 yaitu :

Pertama : Kufur takdzib yaitu orang yang kafir dengan lisan dan hatinya, meyakini bahwa para Rosul adalah dusta sebagaimana yang ditunjukkan oleh surat An Naml ayat 83-84.

Kedua : Kufur juchud yaitu orang yang meyakini kebenaran para Rosul namun lisannya mendustakan bahkan memerangi dengan anggota badannya seperti kufurnya fir’aun kepada Nabi Musa dan kafirnya orang Yahudi kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan kufur jenis ini ada dua macam :

  1. juchud mutlak yaitu mengingkari apa yang Allah turunkan secara umum.
  2. juchud muqoyyad yaitu mengingkari salah satu kewajiban islam atau keharaman-keharamannya atau salah satu sifat Allah atau kabar-Nya baik secara sengaja maupun karena lebih mendahulukan orang yang menyelisihinya karena tujuan tertentu. Namun bila ia juhud karena bodoh atau adanya takwil yang diberikan udzur untuk pelakunya maka tidak dikafirkan.

Ketiga : kufur sombong dan enggan seperti kufurnya iblis, karena ia tidak mengingkari perintah Allah akan tetapi ia sombong dan enggan, artinya ia menetapkan dengan hati dan lisannya kebenaran para Rosul, akan tetapi ia tidak mau tunduk dan menerima karena kesombongan dan enggan, juga seperti kufurnya Abu thalib, kufur ini disebut juga kufur ‘Inad.

Syaikhul islam ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan tentang kufur ‘inad, beliau berkata,” Sesungguhnya seorang hamba apabila melakukan dosa disertai keyakinan bahwa Allah telah mengharamkannya dan meyakini bahwa ketundukan hanya kepada Allah dalam apa yang Dia haramkan dan mewajibkan untuk tunduk kepadanya, maka orang seperti ini tidak dihukumi kafir.

Adapun apabila ia meyakini bahwa Allah tidak mengharamkannya, atau mengharamkan akan tetapi ia tidak mau menerima pengharaman tersebut dan ia enggan untuk tunduk dan patuh maka ia jachid (mengingkari) atau mu’anid (menentang)

Oleh karena itu mereka (para ulama) berkata,” Barang siapa yang memaksiati Allah karena sombong seperti iblis maka ia kafir dengan kesepakatan ulama, karena orang yang berbuat maksiat karena sombong walaupun ia meyakini bahwa Allah adalah Rabbnya, namun penentangan dana pengingkarannya meniadakan keyakinan tersebut. Dan barang siapa yang berbuat maksiat karena mengikuti syahwatnya maka ia tidak kafir menurut ahlussunnah, namun dikafirkan oleh firqah khawarij.

Penjelasannya adalah : Barang siapa yang melakukan keharaman karena istihlal, ia kafir dengan kesepakatan ulama, karena tidak beriman kepada Al Qur’an orang yang meyakini halal apa-apa yang diharamkan oleh Al Qur’an, demikian pula jika ia istihlal dengan tanpa berbuat, dan istihlal maknanya “adalah meyakini halal apa yang  Allah haramkan atau meyakini haram apa yang Allah halalkan” hal itu terjadi karena adanya cacat dalam keimanannya kepada rububiyah Allah, dan cacat dalam keimanannya kepada risalah dan menjadi juchud yang murni tanpa dibangun diatas pendahuluan.

Terkadang ia mengetahui bahwa Allah mengharamkannya dan ia mengetahui bahwa Rosul hanyalah mengharamkan apa yang Allah haramkan, kemudian ia tidak mau beriltizam[1] dengan pengharaman ini dan menentang yang mengharamkannya, maka ini lebih kafir dari yang sebelumnya, terkadang disertai keyakinan bahwa Allah akan mengadzab orang yang tidak iltizam (mewajibkan diri untuk mengharamkan) pengharaman ini.

Kemudian keengganan ini terkadang karena adanya cacat dalam meyakini hikmah Allah dan kekuasaannya, sehingga keengganan tersebut karena tidak mempercayai salah satu dari sifat Allah Ta’ala. Dan terkadang disertai pengetahuan tentang seluruh apa-apa yang harus dipercayai (namun ia enggan) karena durhaka dan mengikuti tujuan nafsunya dan hakikatnya adalah kafir. Ini dikarenakan ia mengakui bahwa milik Allah dan Rosul-Nya lah semua apa yang dikabarkan, dan mempercayai apa yang dipercayai oleh kaum mukminin, akan tetapi ia tidak menyukainya, benci dan marah karena tidak sesuai dengan keinginannya, ia berkata,”Saya tidak mau menetapkan hal itu, tidak mau beriltizam, dan saya benci kepada kebenaran dan lari darinya.” Maka jenis kufur ini berbeda dengan jenis pertama dan mengkafirkan orang seperti ini adalah sesuatu yang dlarurat (pasti) dalam agama islam, dan Al Qur’an dipenuhi pengkafiran jenis ini dan siksanya lebih keras..”[2]

Maksud membawakan perkataan syaikhul islam adalah menjelaskan tentang hakikat kufur sombong dan enggan (‘inad), dimana orang yang tidak mau melaksanakan perintah atau meninggalkan larangan padahal ia meyakini wajib atau haramnya tidak termasuk ke dalam kufur ini, dan pelakunya tidak dikafirkan. Namun bila disertai dengan kebencian kepada kebenaran, lari darinya dan bersombong diri maka inilah hakikat kufur sombong dan enggan.

Keempat : Kufur I’radl yaitu berpaling dengan pendengaran dan hatinya dari Rosul, tidak membenarkan tidak juga mendustakan, tidak memberikan loyalitas tidak pula memusuhi, tidak mau memperhatikan apa yang di bawa oleh Rosul sebagaimana yang dikatakan oleh seseorang dari Bani Abdu Yalail kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,” Demi Allah, aku akan mengatakan kepadamu suatu kalimat : Jika engkau benar, engkau lebih agung dimataku untuk menolakmu, dan jika engkau dusta, engkau lebih hina untuk aku ajak bicara.”

Kelima : Kufur nifaq yaitu memperlihatkan keimanan dan menyembunyikan kekafiran seperti kufurnya Abdullah bin Ubayy bin Salul tokoh munafiq di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Keenam : Kufur Syak(ragu) yaitu ragu kepada kebenaran Rosul dan tidak memastikan. Dan keraguannya tersebut berlangsung apabila ia mewajibkan dirinya untuk tidak mau melihat tanda-tanda kebenaran Rosul secara global, tidak mau mendengar tidak pula menengoknya.

Adapun apabila ia memperhatikan tanda-tandanya, tidak akan ada lagi keraguan karena tanda-tanda tersebut menunjukkan kepada kebenaran sebagaimana matahari menunjukkan kepada siang.

Kufur menurut murji’ah.

Murji’ah meyakini bahwa iman itu hanya sebatas tashdiq (pembenaran) saja, maka orang yang membenarkan Rosul menurut mereka imannya tetap sempurna walaupun ia mencaci maki Allah dan Rosul-Nya, hal ini juga karena mereka meyakini bahwa apabila sebagian iman ada maka ada semua iman, dan keyakinan ini berasal dari keyakinan mereka yang sesat bahwa iman tidak bertambah dan tidak berkurang. Sehingga menurut murji’ah kufur itu hanya sebatas kufur takdzib saja, dan ini bertentangan dengan ahlsussunnah yang membagi kufur akbar menjadi enam jenis.

Sebab-sebab kufur.

Syaikh Mar’iyy bin Yusuf Al karmiyy Al Maqdisi Al Hanbali dalam kitab dalil thalib hal 317 berkata,” Kufur terjadi dengan empat perkara :

Dengan perkataan seperti mencaci maki Allah dan Rosul-Nya atau malaikat atau mengaku Nabi, atau berkata syirik.

Dengan perbuatan seperti sujud kepada berhala atau melempar mushaf Al Qur’an ke tinja dan lain-lain.

Dengan keyakinan seperti meyakini adanya sekutu bagi Allah atau meyakini bahwa zina dan arak adalah halal, atau meyakini bahwa roti itu haram dan lain sebagainya dalam perkara yang telah disepakati oleh para ulama secara pasti.

Dengan meragukan sesuatu dari itu.”[3]


[1] Peringatan ! Iltizam menurut istilah para ulama dan fuqoha artinya mewajibkan kepada diri atau idz’an (tunduk dan tidak sombong). Lihat Mu’jam lughah fuqoha hal 86. Makna inilah yang dimaksud oleh syaikhul islam ibnu Taimiyah, diantara perkataan beliau yang menunjukkan kepada makna ini adalah beliau ketika membahas permasalahan kafirnya orang yang meninggalkan sholat berkata,” Dan poros perselisihan para ulama adalah mengenai orang yang menetapkan wajibnya sholat dan iltizam melakukannya (artinya : mewajibkan kepada dirinya untuk melakukannya.pen) namun ia tidak melaksanakannya.” (majmu’ fatawa 20/97-98).

Sedangkan orang yang terkena pemikiran takfiri di zaman ini memahami istilah iltizam dengan pemahaman yang salah, mereka memahami iltizam artinya berpegang teguh, sehingga jatuh kepada sikap mudah mengkafirkan berdalilkan perkataan beliau diatas.

[2] Ibnu Taimiyah, Ash Sharimul maslul hal 521-522.

[3] Lihat At Tabshir bi qowa’id attakfir karya Syaikh Ali Hasan Al halabi hal 63-64.

About Ustadz Badrusalam

Nama beliau adalah Abu Yahya Badrussalam. Beliau lahir pada tanggal 27 April 1976 di desa Kampung Tengah, Cileungsi, Bogor, tempat dimana studio Radio Rodja berdiri. Beliau menamatkan pendidikan S1 di Universitas Islam Madinah Saudi Arabia Fakultas Hadits pada tahun 2001

Check Also

Kaidah Fikih (20) : Hukum Tidak Sempurna Kecuali Terpenuhi Syarat

  Seluruh Hukum Tidak Sempurna Kecuali Apabila Terpenuhi Syarat – Syaratnya dan Hilang Penghalang – …

Tulis Komentar