Home / Artikel / Aqidah / Bahaya Merayakan Tahun Baru

Bahaya Merayakan Tahun Baru

Ketahuilah sesungguhnya tidak ada keistimewaan dalam pergantian tahun dan pergantian abad. Seharusnya pergantian tahun dan waktu mengingatkan kita akan semakin dekatnya ajal & kematian kita, mengingatkan kita apa yang akan kita bawa dan perbekalan apa yang seharusnya kita persiapkan dalam mengahadapi datangnya kematian tersebut. Bukan sebaliknya pergantian tahun membuat kita lupa dan lalai. Dengan bersorak sorai, bergembira dan menghambur-hamburkan harta dan waktu. Dengan perbuatan yang tidak ada manfaatnya, bahkan menambah dosa dan keburukan.

Sesungguhnya pergantian waktu, hari dan tahun merupakan sebagian tanda-tanda dari kebesaran Allah azza wa jalla, Allah berfirman (yang artinya) “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka’ (QS. Al Imran: 190)

Demikianlah ucapan seorang mukmin, ketika ia mengetahui bagaimana kebesaran Allah dalam menjalankan roda waktu. Dan membolak-balikkan keadaan manusia, dimana hari ini kita tertawa, besok kita menangis, saat ini kita bergembira besok kita merasakan kesedihan, hari ini kita diberikan kekayaan. mungkin besok atau lusa kita diberikan kemiskinan dan kesengsaraan.

Demikianlah Allah subhanahu wa ta’ala mentakdirkan segala sesuatu “dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)” (QS. Ali Imran: 140).

Namun kenyataan yang kita saksikan pada masa kini betapa banyak umat Islam yang bergembira terhadap pergantian tahun dan turut merayakan tahun baru. Apakah dengan merayakannya dapat bermanfaat untuk agamanya? Atau dapat menambah keimanannya? Ataukah dengan merayakannya dia akan mendapatkan keridhaan Allah? Tidakkah kita berfikir apakah Rasulullah shalallahu‘alaihi wassalam panutan kita, pernah merayakan tahun baru, memperingati pergatian tahun demi tahun?!

Ketahuilah sesungguhnya dalam merayakan tahun baru dan memperingatinya terdapat sejumlah kemudharatan dan bahaya yang seharusnya kita jauhi dan tinggalkan. Diantara kemudharatan itu adalah:

1. Menyerupai orang-orang kafir
Rasulullah shalallahu‘alaihi wassalam bersabda “Orang yang menyerupai suatu kaum, seolah ia bagian dari kaum tersebut” (HR. Abu Daud, 4031, di hasankan oleh Ibnu Hajar di Fathul Bari, 10/282). Sesungguhnya merayakan tahun baru bukanlah kebiasaan kaum muslimin, akan tetapi perayaan ini berasal dari orang-orang kaafirin. Dan wajib bagi setiap muslim untuk menjauhi perayaan ini dan tidak menyerupai mereka. Hendaklah seorang muslim berbangga dengan agamanya dan berbangga dengan kitab sucinya, sepatutnya dia berbangga bahwa Allah telah menurunkan untuknya Al Qur’an, As Sunnah dan Agama yang Haq, yang berasal dari pencipta alam semesta. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) “Dan Apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) sedang Dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (Al Quran) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman” (QS. Al Ankabut: 51)

Tidakkah cukup bagi kita syariat yang mulia ini sampai kita merayakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shalallahu‘alaihi wassalam bahkan menyerupai orang-orang yang dibenci oleh Allah? Disebutkan di dalam Shahih Bukhari bahwa ada seorang Yahudi yang berkata kepada Umar bin Khattab radhiallahu’anhu: “Wahai Amirul nukminin, sesungguhnya kalian membaca satu ayat di dalam kitab kalian (Al Qur’an) yang sekiranya turun kepada kami orang-orang Yahudi, niscaya kami akan jadikan hari turunnya sebagai perayaan”. Lihatlah perkataan orang Yahudi ini yang menunjukkan bahwa kegemaran membuat macam-macam perayaan itu bukan dari syariat Islam yang mulia ini. Karena Islam hanya mensyariatkan kepada kita 2 hari raya saja , yaitu hari raya ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha.

2. Bid’ah dalam agama
Karena perihal perayaan itu termasuk masalah syariat. “Di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam baru hijrah ke Madinah, warga Madinah memiliki dua hari raya yang biasanya di hari itu mereka bersenang-senang. Rasulullah bertanya: ‘Perayaan apakah yang dirayakan dalam dua hari ini?’. Warga madinah menjawab: ‘Pada dua hari raya ini, dahulu di masa Jahiliyyah kami biasa merayakannya dengan bersenang-senang’. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Sungguh Allah telah mengganti hari raya kalian dengan yang lebih baik, yaitu Idul Adha dan ‘Idul Fithri’ ” (HR. Abu Daud, 1134, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud, 1134)

Maka siapa yang mengadakan perayaan sesuatu yang tidak pernah diperintahkan dan disayriatkan olah Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah membuat syariat yang tidak pernah diizinkan oleh Allah dan RasulNya. Allah berfirman (yang artinya) “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. As Syura : 21)

3. Maksiat kepada Allah Azza wa jalla
Kita dapati ketika mereka merayakan tahun baru, laki-laki dan wanita bercampur baur dan tidak mempedulikan tentang batasan – batasan Allah sehingga mereka telah terjerumus dalam kubangan kemaksiatan dan berbuat pelanggaran kepada Allah.

4. Menghamburkan harta sia-sia
Dengan membeli petasan dan terompet yang mereka bunyikan sehingga membuat kebisingan dan keributan padahal disadari atau tidak mereka telah melakukan 2 perbuatan dosa. Yang pertama mereka menghamburkan harta dengan sia-sia, Allah berfirman (yang artinya) “sesungguhnya orang-orang yang menghamburkan harta, (mereka) adalah saudaranya syaiton” (QS. Al Isra: 27). Dosa yang kedua, mereka telah mengganggu orang-orang yag sedang beristirahat dengan suara-suara dan bunyi-bunyian yang memekakkan telinga, waliyyadzu billah.

5. Membuang-buang waktu dengan sia-sia
Seorang Muslim adalah seorang yang pelit dengan waktunya, bukankah Rasulullah shalallahu‘alaihi wassalam bersabda “diantara tanda kebaikan Islam seseorang, dia meninggalkan sesuatu yang tidak ada manfaatnya” (HR. Tirmidzi 2318, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi 2317)

Bukankah yang lebih baik kita makmurkan, malam tersebut dengan sholat tahajud, ber-taqarrub kepada Allah sebagaimana kita lakukan pada malam-malam lainnya, karena sesungguhnya tidak ada keistimewaan dan kelebihan pada malam tersebut.

Disisi lain kita dapatkan sebagian kaum muslimin yang melihat saudara-sauara berbuat maksiat dengan merayakan tahun baru, maka mereka bersemangat untuk ibadah lalu melakukan ritual – ritual ibadah yang tidak pernah dilakukan, dianjurkan bahkan di sunnahkan oleh Rasulullahshalallahu‘alaihi wassalam. Yaitu dengan mengadakan dzikir jama’ah di malam tahun baru. Mereka beralasan : “daripada kita berbuat maksiat kepada Allah lebih baik kita berkumpul dan beribadah kepada Allah!” Subhanallah, apakah mereka akan mengganti perbuatan maksiat dengan perbuatan bid’ah!! Kaidah yang harus kita fahami bahwasannya perbuatan maksiat tidak bisa dibalas atau digantikan dengan perbuatan bid’ah.

Akan tetapi maksiat diganti dengan ketaatan yang benar, yaitu dengan meyakini bahwasanya malam tahun baru tersebut tidak ada keistmewaan sama sekali. Yang seyogyanya kita lewati sama seperti malam-malam lainnya, sebagaimana pergantian hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun.

Oleh karena itulah wajib atas setiap muslim bertaqwa kepada Allah dan senantiasa ittiba’ kepada sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam kemudian berbangga serta mencukupkan dengan agama yang telah Allah turunkan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.

6. Secara sadar atau tidak mereka ridha dengan apa yang dirayakan dan diyakini oleh orang – orang Yahudi & Nasrani.
Bukankah mereka (Ahlul Kitab) betapa sangat inginnya agar kaum muslimin mengikuti millah dan tata cara ibadah mereka. Allah berfirman (yang artinya) : “tidak akan pernah ridho orang-orang Yahudi dan Nasrani kepada kalian sampai kalian mengikuti millah dan tata cara beragama mereka” (QS. Al Baqarah: 120). Allah tidak menyebutkan dalam ayat ini ‘sampai kalian masuk kedalam agama mereka’, akan tetapi cukup bagi mereka agar kalian mengikuti millah mereka, tata cara ibadah mereka. Maka itu merupakan suatu kegembiraan dan keridhaan mereka terhadap kalian. Bukankah kewajiban bagi kita untuk mencari keridhaan Allah azza wajalla. Bukan sebaliknya kita mencari dan berharap keridhoan dari para musuh-musuh Allah azza wajalla.

7. Mengikuti millah (tata cara beribadah) selain Agama Islam
Perkara ini dapat menyeret seorang muslim sedikit demi sedikit kepada kekufuran. Allah berfirman (yang artinya) “wahai orang-orang yang beriman jika kalian mengikuti sebagian ahli kitab itu, niscaya mereka akan mengembalikan kalian setelah keimanan kepada kekafiran” (QS. Al Imran: 100). Allah Azza Wa Jalla mengancam hamba-Nya dan memperingatkan mereka apabila kita mengikuti dan mentaati tata-cara dan gaya hidup serta ibadah ahlul kitab, maka sedikit-demi sedikit kita akan dikembalikan kepada kekafiran. Pada ayat selanjutnya Allah berfirman (yang artinya) : “bagaimana kalian akan menjadi kafir sementara dibacakan kepada kalian ayat-ayat Allah dan disisi kalian ada RasulNya, siapa yang berpegang kepada agama Allah maka ia telah ditunjukkan kepada jalan yang lurus” (QS. Al Imran: 101). Dalam ayat ini Allah azza wa jalla menjelaskan bahwa selama kaum muslimin berpegang teguh kepada agamanya yang haq yaitu Islam dan meniti jalan RosulNya melalui sunah-sunnahnya maka kekfairan akan jauh dari diri-diri mereka, sebaliknya apabila kaum muslimin menjauhi agamanya yang haq dan berpaling dari sunnah Rasul-Nya yang mulia dan mengambil millah agama Ahlul Kitab sebagai syiar mereka dan kebangaan serta kegembiraan mereka, maka ia akan dikembalikan kepada kekafiran.

Tidakkah kita dapat melihat sejumlah kemudharatan dan bahaya yang akan menimpa kita dan agama kita. Seorang muslim yang hanif yang semangat untuk mencari keridhaan Allah dia akan menjauhi setiap kemudhaan ini, meninggalkan keramaian yang berujung kepada kekafiran ini, dia akan lari membawa dan meyelamatkan agamanya. Semoga Allah memberikan kita keistiqomahan diatas agamanya yang haq, menjauhi diri kita dari setiap kekufuran, dan memberikan kita kestiqomahan diatas sunnah Rasul-Nya yang mulia. Amin

[ Ditranskrip dari ceramah Ustadz Badrusalam, Lc. ]

About Ustadz Badrusalam

Nama beliau adalah Abu Yahya Badrussalam. Beliau lahir pada tanggal 27 April 1976 di desa Kampung Tengah, Cileungsi, Bogor, tempat dimana studio Radio Rodja berdiri. Beliau menamatkan pendidikan S1 di Universitas Islam Madinah Saudi Arabia Fakultas Hadits pada tahun 2001

Tulis Komentar