Home / Artikel / Wajibkah Mencuci Anggota Wudlu Secara Tertib ?

Wajibkah Mencuci Anggota Wudlu Secara Tertib ?

Pendapat yang rajih, dan Jawaban terhadap pendapat kedua.

Yang rajih dari kedua pendapat di atas adalah pendapat pertama yang mewajibkan tertib dalam mencuci anggota wudlu, wallahu a’lam. Adapun dalil-dalil pendapat kedua dapat kita jawab dengan jawaban berikut ini:

pertama: Perkataan mereka bahwa wawu ‘athof tidak mengharuskan tertib adalah benar, namun kaidah umum tersebut tidak berlaku ketika adanya qarinah (penguat) yang menunjukkan kepada tertib, dan telah kita sebutkan bahwa kebiasaan orang arab apabila menyebutkan sesuatu yang sejenis dengan yang tidak sejenis, disebutkan dahulu yang sejenis kemudian setelah itu menyebutkan yang tidak sejenis, dan mereka tidak menyelisihi kebiasaan tersebut kecuali untuk sebuah faidah. Sedangkan dalam ayat ini, Allah memasukkan kepala yang diusap diantara dua yang dicuci, dan tidak diketahui faidahnya kecuali dalam rangka tertib berurutan.

Kedua : Qiyas mereka dengan tayamum adalah tidak tepat dari dua sisi :

Pertama: Bahwa ia adalah qiyas kepada pokok yang masih diperselisihkan, sedangkan diantara syarat qiyas adalah hukum pokoknya harus disepakati oleh kedua belah pihak yang berselisih.

Kedua: Ia adalah qiyas yang berbeda, karena tayamum walaupun berfungsi sebagai pengganti wudlu, akan tetapi sifatnya tidak serupa dengan wudlu; tayammum hanya mengusap dua anggota saja berbeda dengan wudlu, tidak ada dalam tayammum berkumur-kumur dan istinsyaq, dan tayammum tidak disyari’atkan padanya diulang dua dan tiga kali berbeda dengan wudlu.

Ketiga : Hadits-hadits yang menunjukkan tidak wajibnya tertib semuanya lemah tidak dapat dijadikan hujjah, penjelasannya sebagai berikut :

Pertama: Hadits Al Miqdam bin Ma’dikarib dikeluarkan oleh imam Ahmad dan Abu Dawud dari jalan Hariz bin Utsman Ar Rahbi dari Abdurrahman bin Maisarah dari Al Miqdam. Dan Abdurrahman bin Maisarah dikatakan oleh ibnul Madini: “Majhul”[11]. Ibnul Qathan berkata: “Majhul hal”.[12] Dan dianggap tsiqah oleh Al ‘Ijli dan ibnu Hibban, keduanya terkenal sangat longgar dalam mentsiqahkan perawi, oleh karena itu Al Hafidz ibnu Hajar tidak menerima pentsiqahan mereka berdua, Al Hafidz berkata mengenai Abdurrahman bin Maisarah: “Maqbul”. Artinya diterima jika dimutaba’ah namun jika bersendirian haditsnya layyin (lemah), dan ini maknanya bahwa periwayatan Abdurrahman bin Maisarah tidak diterima jika bersendirian, bagaimana jadinya jika ia menyelisihi ?! Dan di sini ia telah menyelisihi riwayat-riwayat yang shahih dari para shahabat seperti Utsman, Abdullah bin Zaid dan Ali bin Abi Thalib radliyallahu ‘anhum yang memperaktekan wudlu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam secara tertib.

Jika ada yang berkata: “Bukankah Abu Dawud berkata: “Syuyukh (guru-guru) Hariz semuanya tsiqah”. Sedangkan Abdurrahman bin Maisarah termasuk gurunya Hariz”.

Dijawab, bahwa perkataan ini bersifat umum, dapat dipakai selama tidak ada perkataan ulama jarh wata’dil yang menyelisihinya, dan bila ada perkataan ulama yang menyelisihinya, maka lebih didahulukan dari perkataan yang bersifat umum tersebut, karena hampir setiap yang umum selalu ada yang mengkhususkannya, dan setiap kaidah biasanya ada perkara yang tidak masuk kaidah tersebut. Oleh karena itu Al Hafidz ibnu Hajar tidak menganggap perkataan Abu Dawud tadi sebagai hujah untuk mentsiqahkan Abdurrahman bin Maisarah[13]. Wallahu a’lam.

Kedua : Hadits Busr bin Sa’id juga dla’if, dikeluarkan oleh Ad Daraquthni (1/85) dari jalan ibnul Asyja’I haddatsana ayahku dari Sufyan Ats Tsauri dari Salim Abu Nadlr dari Busr bin Sa’id. Ad Daraquthni berkata setelahnya: “Shahih kecuali mengakhirkan usapan kepala karena ia tidak mahfudz (syadz), ibnul Asyja’i bersendirian meriwayatkannya dengan sanad dan lafadz ini, sedangkan Abdullah bin Al Walid, Yazid bin Abi Hakim, Al Firyabi, Abu Ahmad, dan Abu Hudzaifah meriwayatkan dari Ats Tsauri dengan lafadz: “Sesungguhnya Utsman berwudlu tiga kali-tiga kali dan berkata: “Beginilah aku melihat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudlu”. Dan mereka semua tidak memberikan tambahan lafadz lebih dari ini”.

Sementara imam Ahmad (1/67-68) meriwayatkan hadits tersebut dengan lafadz: “Kemudian mengusap kepalanya dan dua kakinya tiga kali-tiga kali…”. Ahmad Syakir berkata: “Sanadnya shahih”.[14] Dan hadits Utsman mempunyai jalan-jalan lainnya tentang sifat wudlu namun tidak ada satupun yang menyebutkannya dengan tanpa tertib.

Ketiga : Adapun hadits ibnu Abbas adalah hadits yang tidak ada asalnya, disebutkan oleh ibnul Jauzi dalam At Tahqiq (1/163) dengan tanpa sanad dan beliau berkata: “Tidak sah”. Dan disebutkan juga oleh An Nawawi dan beliau berkata: “Tidak dikenal”.[15]

Keempat : Sedangkan atsar Ali bin Abi Thalib dan ibnu Mas’ud adalah lemah juga, penjelasannya sebagai berikut :

Adapun atsar Ali dikeluarkan oleh ibnu Abi Syaibah (1/39), ibnul Mundzir dalam Al Ausath (1/422), Abu Ubaid dalam Ath Thuhur (341), Ad Daraquthni dalam sunannya (1/88) dan Al Baihaqi dalam Sunan Kubra (1/87) dari jalan ‘Auf dari Abdullah bin Amru bin Hindun dari Ali. Dan ‘Auf bin Abdullah adalah dla’if, Ad Daraquthni berkata: “Laisa bil qawiy (kurang kuat)”.

Dan juga sanadnya munqathi’ (terputus). Abu Hatim Ar Razi rahimahullah berkata: “Abdullah bin ‘Amru bin Hindun tidak pernah mendengar dari Ali”. (Al Marasil no 109). Dan Al Baihaqi mendla’ifkan atsar ini.

Sedangkan atsar ibnu Mas’ud dikeluarkan oleh ibnu Abi Syaibah (1/39), ibnul Mundzir dalam Al Ausath (1/422) dan Ad Daraquthni (1/89) dari jalan ibnu Juraij dari Sulaiman bin Musa dari Mujahid dari Abdullah bin Mas’ud.

Sanad ini mempunyai dua ‘illat :

Ibnu Juraij terkenal sebagai perawi mudallis dan disini ia membawakan riwayat dengan lafadz ‘an dan tidak tegas menyatakan mendengar.
Sanadnya terputus, Al Baihaqi berkata: “Mujahid tidak bertemu dengan ibnu Mas’ud”. (Al Kubra 1/81). Dan atsar ini dikatakan oleh Ad Daraquthni: “Tidak tsabit”. Maksudnya lemah.[16]

[1] Lihat kitab ikhtiyarat Fiqhiyah lil imam Al Khathabi karya Sa’ad bin Abdullah bin Nashir Al Buraik.

[2] Dikeluarkan oleh Abu Dawud no 858, dan ibnu Majah no 460 dari jalan Al Hajjaj bin Al Minhal haddatsana Hammam haddatsana Ishaq bin Abdillah bin Abi Thalhah dari Ali bin Yahya bin Khollad dari ayahnya dari pamannya yaitu Rifa’ah bin Rafi’. Qultu : sanad ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan dishahihkan pula oleh syaikh Al Bani rahimahullah dalam shahih sunan Abi Dawud. Hammam yaitu bin Yahya bin Dinar Al ‘Audzi.

[3] Al Khathabi, Ma’alim assunan 1/183.

[4] Ibnu Hajar, Fathul bari 1/313.

[5] Ibnu Qudamah, Al Mughni 1/190.

[6] Ibnu Qayyim, zadul ma’ad 1/194.

[7] Abu Dawud no 321 dan dikeluarkan juga oleh Bukhari dan Muslim dengan menggunakan wawu (dan).

[8] Musnad Ahmad bin Hanbal 4/132.

[9] Sunan Ad Daraquthni 1/85 no 10.

[10] Disebutkan oleh An Nawawi dalam Al Majmu’ (1/444).

[11] Al Mizan 2/594.

[12] Al Badrul munir 3/430.

[13] Zakaria bin ghulam Al Bakistani, Tanqihul kalam hal 62.

[14] Tahqiq musnad imam Ahmad 1/372.

[15] Tanqihul kalam hal 64.

[16] Tanqihul kalam hal 65.

About Ustadz Badrusalam

Nama beliau adalah Abu Yahya Badrussalam. Beliau lahir pada tanggal 27 April 1976 di desa Kampung Tengah, Cileungsi, Bogor, tempat dimana studio Radio Rodja berdiri. Beliau menamatkan pendidikan S1 di Universitas Islam Madinah Saudi Arabia Fakultas Hadits pada tahun 2001

Check Also

Diantara Kaidah-Kaidah Seputar Jahalah

Kaidah-kaidah seputar jahalah dalam ilmu hadits

Tulis Komentar