Home / Artikel / Bagaimana Para Ulama Menjaga Hadits

Bagaimana Para Ulama Menjaga Hadits

Beliau berkata lagi: “Insya Allah kami akan menyebutkan periwayatan ashhab (para perawi yang meriwayatkan) dari Kuraib dari ibnu Abbas, kemudian setelah itu kami akan menyebutkan para perawi yang meriwayatkan dari ibnu Abbas yang sesuai dengan riwayat Kuraib :

Haddatsana ibnu Abi Umar haddatsana Sufyan dari Amru bin Dinar dari Kuraib dari ibnu Abbas bahwa ia bermalam di rumah Maimunah, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangun di waktu malam dan berwudlu. Ibnu Abbas berkata: “Lalu aku bangun dan melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian aku datang dan berdiri di sebelah kirinya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan aku di sebelah kanannya.

Dan Makhramah bin Sulaiman meriwayatkan dari Kuraib demikian.

Dan Salamah bin Kuhail dari Abu Risydin.

Dan Salamah dari Kuraib.

Dan Salim bin Abil ja’ad dari Kuraib.

Dan Husyaim dari Abu Bisyir dari Sa’id bin Jubair dari ibnu Abbas.

Dan Ayyub dari Abdullah dari ayahnya.

Dan Al Hakam dari Sa’id bin Jubair.

Dan ibnu Juraij dari ‘Atha.

Dan Qais bin Sa’ad dari ‘Atha.

Dan Abu Nadlrah dari ibnu Abbas.

Dan Asy Sya’bi dari ibnu Abbas.

Dan Thawus dari Ikrimah dari ibnu Abbas.

Muslim berkata: “Maka dengan apa yang kami sebutkan ini dari kabar-kabar yang shahih dari Kuraib dan semua perawi dari ibnu Abbas, menjadi jelas kesalahan riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memindahkan ibnu Abbas ke sebelah kirinya”.[21]

Ketiga : Merujuk buku asli perawi hadits.

Cara ini digunakan oleh para ahli hadits untuk mengetahui kebenaran seorang perawi yang mengaku mendengar dari seorang syaikh, mereka meneliti dengan seksama buku asli perawi tersebut bahkan diperiksa juga kertasnya, tintanya dan tempat penulisannya.

Zakaria bin Yahya Al Hulwani berkata: “Aku melihat Abu Dawud As Sijistani telah memberikan tanda kepada hadits Ya’qub bin Kasib di punggung kitabnya, maka kami bertanya mengapa ia melakukan itu?

Ia menjawab: “Kami melihat di musnadnya hadits-hadits yang kami ingkari, lalu kami meminta buku aslinya namun ia menolak, beberapa waktu kemudian ia mengeluarkan bukunya, ternyata kami dapati hadits-hadits tersebut tampak dirubah dengan (bukti) tinta yang masih baru yang tadinya hadits-hadits tersebut mursal tetapi ia menjadikannya musnad[22] dan diberikan tambahan padanya”.[23]

Keempat : Memeriksa lafadz dalam menyampaikan hadits.

Ketika menyampaikan hadits, para perawi menggunakan lafadz-lafadz sesuai dengan keadaan ia mengambil hadits tersebut, bila ia mendengar langsung dari mulut syaikh atau syaikh yang membacakan kepadanya hadits, biasanya digunakan lafadz “Haddatsana” dan bila dibacakan oleh murid kepada Syaikh biasanya menggunakan “Akhbarona” atau “Anbaana” dan ini semua lafadz-lafadz yang menunjukkan bahwa si perawi mendengar langsung dari Syaikh, dan ada juga lafadz-lafadz yang mengandung kemungkinan mendengar langsung atau tidak, seperti lafadz ‘an fulan (dari si fulan) atau qola fulan (berkata si fulan), lafadz seperti ini bisa dihukumi bersambung dengan dua syarat :

1. Memungkinkan bertemunya perawi itu dengan syaikhnya, seperti ia satu zaman dengan syaikhnya dan lain-lain.

2. Perawi tersebut bukan mudallis[24].

Bila salah satu dari dua syarat ini tidak terpenuhi maka sanadnya dianggap tidak bersambung atau lemah.

Kelima : Memeriksa ketsiqahan perawi-perawi hadits.

Pemeriksaan para perawi hadits berporos pada dua point penting[25] yaitu :

Kepribadian perawi dari sisi agama dan akhlaknya, atau yang disebut dalam ilmu hadits dengan ‘adaalah (adil).
Perawi yang adil menurut istilah ahli hadits adalah seorang muslim, baligh dan berakal, selamat dari sebab-sebab kefasiqan dan khowarim al muru’ah (adab-adab yang buruk). Dan sebab-sebab kefasiqan ada dua yaitu maksiat dan bid’ah. Dan kefasiqan yang merusak seorang perawi adalah fasiq karena maksiat (dosa besar) seperti minum arak, berzina, mencuri dan lain-lain.

Adapun bid’ah, para ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya, diantara mereka ada yang menolak perawi ahlul bid’ah secara mutlak, dan diantara mereka ada yang menerimanya selama tidak menghalalkan dusta dan diantara mereka ada yang memberikan perincian-perincian tertentu seperti tidak menyeru kepada bid’ahnya, tidak meriwayatkan hadits yang mendukung bid’ahnya, dan lain-lain.

Namun bila kita perhatikan secara cermat bahwa sifat perawi yang diterima adalah kejujuran perawi (tidak menghalalkan dusta), amanah dan terpecaya agama dan akhlaknya. Dan bila kita periksa keadaan perawi-perawi yang melakukan bid’ah, banyak diantara mereka yang mempunyai sifat demikian dan mereka melakukan bid’ah bukan karena sengaja melakukannya atau menganggapnya halal, akan tetapi karena adanya ta’wil (syubhat) sehingga periwayatannya diterima oleh para ulama, berbeda jika si perawi mengingkari perkara agama yang mutawatir dan bersifat pasti dalam agama (dlaruri) atau meyakini kebalikannya, maka perawi seperti ini wajib ditolak periwayatannya[26]. Saya akan sebutkan beberapa perawi yang melakukan bid’ah namun diterima haditsnya :

Muhammad bin Rasyid, Yahya bin Ma’in berkata tentangnya: “Tsiqah dan ia qadari (pengikut qadariyah[27]).[28]

Aban bin Taghlib, perawi yang tsiqah, dianggap tsiqah oleh imam Ahmad dan Yahya bin Ma’in, dikatakan oleh ibnu ‘Adi: “Ekstrim dalam syi’ah”. Adz Dzahabi berkata: “Ia Syi’ah yang ekstrim namun shaduq (sangat jujur), maka untuk kita riwayatnya dan untuk dia kebid’ahannya”.[29]

Abdurrazaq bin Hammam Ash Shan’ani tsiqah hafidz namun mempunyai keyakinan syi’ah.

Abdul Majid bin Abdul ‘Aziz bin Abi Rawwad, dianggap tsiqah oleh ibnu Ma’in dan lainnya. Abu Dawud berkata: “Tsiqah menyeru kepada aqidah murji’ah”.[30]

Muhamad bin Imran Abu Abdillah Al Marzabani Al Katib shaduq tetapi ia mu’tazilah yang keras.[31]

Bagaimana mengetahui keadilan perawi.

Jumhur ahli hadits berpendapat bahwa keadilan perawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua cara, yaitu :

Pertama : Terkenal keadilannya.

Maksudnya perawi itu masyhur dikalangan ahli hadits kebaikannya dan banyak yang memujinya sebagai perawi yang amanah dan tsiqah, maka ketenaran ini sudah mencukupi dan tidak lagi membutuhkan kepada saksi dan bukti, seperti imam yang empat, Syu’bah, Sufyan bin ‘Uyainah dan Sufyan Ats Tsauri, Yahya bin Ma’in dan lain-lain.

Kedua : Pernyataan dari seorang imam.

Bila seorang perawi tidak ditemukan pujian (ta’dil) kecuali dari seorang imam yang faham maka diterima ta’dilnya selama tidak ditemukan padanya jarh (celaan) yang ditafsirkan.[32]

Periwayatan yang ia riwayatkan apakah ia menguasainya atau tidak, atau yang disebut dalam ilmu hadits dengan istilah dlabth dan itqan.
Ada dua cara yang digunakan oleh para ahli hadits untuk mengetahui kedlabitan perawi, yaitu:

Membandingkan periwayatannya dengan periwayatan perawi-perawi lain yang terkenal ketsiqahan dan kedlabitannya.
Jika mayoritas periwayatannya sesuai walaupun dari sisi makna dengan periwayatan para perawi yang tsiqah tersebut dan penyelisihannya sedikit atau jarang maka ia dianggap sebagai perawi yang dlabit.

Dan jika periwayatannya banyak menyelisihi periwayatan perawi-perawi yang tsiqah tadi maka ia dianggap kurang atau cacat kedlabitannya dan tidak boleh dijadikan sebagai hujah. Akan tetapi jika si perawi tersebut mempunyai buku asli yang shahih dan ia menyampaikannya hanya sebatas dari buku bukan dari hafalannya maka periwayatannya dapat diterima.

Menguji perawi.
Bentuk-bentuk ujian kepada perawi bermacam-macam diantaranya adalah dengan membacakan padanya hadits-hadits lalu dimasukkan di sela-selanya periwayatan orang lain, jika ia dapat membedakan maka ia adalah perawi yang tsiqah dan jika tidak dapat memebedakannya maka ia kurang ketsiqahannya. Diantaranya juga adalah membolak balik matan dan sanad sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli hadits Baghdad terhadap imam Bukhari.

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menguji perawi, sebagian ulama mengharamkannya seperti Yahya bin Sa’id Al Qathan dan sebagian lagi melakukannya seperti Syu’bah dan Yahya bin Ma’in. Al Hafidz ibnu Hajar rahimahullah memandang bahwa menguji perawi adalah boleh selama tidak terus menerus dilakukan pada seorang perawi karena mashlahatnya lebih banyak dibandingkan mafsadahnya yaitu dapat mengetahui derajat seorang perawi dengan waktu yang cepat.[33]

[1] Muslim dalam muqadimah shahihnya.

[2] Mursal adalah perkataan Tabi’in: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda atau berbuat begini…”

[3] Mu’dlal adalah sanad yang digugurkan dua perawinya secara beruntun di akhir sanad.

[4] Mu’allaq adalah sanad yang digugurkan seorang perawi atau lebih secara beruntun di awal sanadnya.

[5] Munqathi’ adalah sanad yang terputus baik di awal, ditengah atau di akhirnya.

[6] Majhul ‘ain adalah perawi yang meriwayatkan darinya hanya seorang dan tidak ada ulama yang memujil dan mencelanya.

[7] Majhul hal adalah perawi yang meriwayatkan darinya hanya dua orang dan tidak ada pujian dan celaan dari para ulama.

[8] Al Kifayah hal 119.

[9] Al Kifayah hal 119.

[10] Mizanul I’tidal 2/360.

[11] Syadz adalah periwayatan perawi yang maqbul (diterima) yang bertentangan dengan periwayatan perawi lain yang lebih kuat darinya.

[12] Munkar adalah bersendiriannya seorang perawi yang lemah dalam meriwayatkan sebuah hadits atau menyalahi periwayatan perawi lain yang tsiqah.

[13] Mudraj adalah adanya tambahan yang bukan dari hadits, dan mudraj ini dapat diketahui dengan keberadaan tambahan tersebut secara terpisah dalam riwayat yang lain, atau pernyataan langsung dari perawi yang meriwayatkannya, atau pernyataan dari imam yang mengetahuinya, atau mustahil tambahan tersebut diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

[14] Marfu’ artinya meriwayatkannya sampai kepada Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

[15] Mauquf artinya meriwayatkannya sampai kepada shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

[16] Muqadimah Al Jarhu watta’dil hal 158. Beliau khawatir riwayat Simak adalah periwayatan yang salah karena menyelisihi periwayatan perawi-perawi lain yang lebih tsiqah sehingga menjadi syadz.

[17] Lihat Manhaj Naqd ‘iendal muhadditsin karya Dr Muhammad Mushtafa Al A’dzami hal 69.

[18] Mutaba’ah artinya Jalan lain dari sebuah sanad yang shahabatnya sama dan bertemu dengan sanad pertama dari awal sanad (mutaba’ah sempurna) atau di tengah sanad (mutaba’ah qashirah).

[19] Syawahid artinya jalan lain dari sebuah hadits dengan shahabat yang berbeda, dimana matannya sama atau semakna.

[20] Matan adalah ujung sanad berupa perkataan Nabi atau shahabat atau lainnya.

[21] At Tamyiz hal 183-185 tahqiq Dr Muhamad Mushtafa Al A’dzami.

[22] Musnad artinya bersambung sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

[23] Mizanul I’tidal 1/451.

[24] Mudallis adalah perawi yang suka menggugurkan perawi yang lemah dari sanad antara ia dengan syaikhnya yang tsiqah dan banyak mengambil hadits dari syaikh tersebut, atau menggugurkan perawi yang lemah diantara dua syaikh yang tsiqah yang bertemu satu dengan lainnya agar terlihat sanadnya bersih dan tidak cacat.

[25] Manhaj Naqd ‘iendal muhadditsin hal 20.

[26] Lihat An Nukat ‘ala Nuzhatinadzar hal 137.

[27] Qadariyah adalah firqah sesat yang mengatakan bahwa taqdir tidak ada dan bahwa segala sesuatu tidak ditaqdirkan oleh Allah.

[28] Al Mughni 1/6.

[29] Mizanul I’tidal 1/5.

[30] Al Mughni 2/403.

[31] Al Mughni 2/620.

[32] Dlawabith Jarh watta’dil hal 21-22.

[33] Lihat Dlawabith Al Jarh watta’dil hal 35-37.

About Ustadz Badrusalam

Nama beliau adalah Abu Yahya Badrussalam. Beliau lahir pada tanggal 27 April 1976 di desa Kampung Tengah, Cileungsi, Bogor, tempat dimana studio Radio Rodja berdiri. Beliau menamatkan pendidikan S1 di Universitas Islam Madinah Saudi Arabia Fakultas Hadits pada tahun 2001

Check Also

Video : Metode Mengambil Ilmu

Kajian Ilmiah: Metoda Dalam Mengambil Ilmu – Ustadz Badru Salam, Lc Menuntut ilmu adalah merupakan …

Tulis Komentar